Khalifahlife.com - Bisa dibilang, Ibnu Umar adalah
“Teman Malam” dan “Pendamping Waktu Sahur.” Ia habiskan waktu malam untuk shalat. Dan di pengunjung
malam, ia terdengar menangis tersedu-sedu memohon ampun dan beristigfar.
Saat remaja, ia pernah bermpimpi.
Lalu mimpi itu ditafsiri oleh Rasullah yang membuat Ibnu Umar menggebu-gebu
melakukan qiyamul lail.
Apa mimpinya itu? Marilah kita
dengarkan bagaimana ia bercerita.
“Semasa Rasulullah saw. Aku bermimpi
seolah-olah ditanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja di surga
yang kuingini, maka beludru itu menerbangkan ke sana. Aku juga melihat dua orang
mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Lalu seorang malaikat mencegahnya
dan berkata, `Jangaan ganggu dia.’ Maka aku dilepaskan. Saudara perempuanku
yang bernama Hafshah menceritakan mimpiku itu kepada Rasulullah. Beliau
berkomentar, ‘Abdullah sangat beruntung, jika ia mau memperbanyak shalat
malam.'"
Sejak saat itu, hingga ia wafat,
bertemu Tuhannya, ia tidak pernah meninggalkan qiyamul lail. Di rumah maupun
ketika bepergian.
Sejak saat itu, waktunya ia habiskan
untuk shalat, membaca Al-Quran, matanya berderai air mata.
Ubaid bin Umair pernah berkata, “Aku pernah membacakan ayat berikut kepada Ibnu Umar, ‘Maka bagaimanakah
(orang-orang kafir nanti), apalagi kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari
tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka
itu (sebagai umatmu). Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang
mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka
tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.” (An-Nisa:41-41)
Suatu hari ia duduk di antara
kawan-kawannya, lalu membaca,
“Kecelakaan bersarlah bagi
orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa
sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari
(ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (Al-Muthaffifin: 1-6) Ia mengulang-ulang ayat keenam, “(Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Tuhan semesta alam.” Dan air matanya terus mengalir,
sampai ia jatuh pingsan.
Kedermawanan, kezuhudan dan
ketakwaannya bergerak bersama-sama dengan irama sempurna membentuk satu
kepribadian mengagumkan dalam diri manusia besar ini. Ia telah banyak memberi,
karena ia seorang yang sangat dermawan. Yang ia berikan hanyalah yang halal dan
baik, karena ia seorang yang bertakwa dan shalih. Ia tetap memberi dan tidak
takut menjadi miskin, karena ia seorang yang zuhud dan tidak peduli pada dunia.
Ibnu Umar termasuk orang yang
penghasilannya cukup besar. Ia seorang pedagang yang jujur dan sukses. Tunjangan
hidup dari kas Negara juga cukup besar. Akan tetapi semua itu tidak ia simpan
untuk memperkaya diri. Ia bagikan hartanya kepada orang-orang miskin.
Ayub bin Wa’il ar-Rasibi pernah
bercerita tentang tunjangan yang diterima oleh Ibnu Umar. “Suatu hari, aku
melihat Ibnu Umar mendapat tunjangan 4.000 dirham dan satu mantel. Esok
harinya, aku melihatnya di pasar membeli makanan unta dengan berutang. Lalu aku
pergi menemui keluarganya menanyakan perihalnya yang berutang di pasar padahal
kemarin baru mendapat tunjangan 4.000 dirham
dan satu mantel.”
Mereka menjawab, “Betul. Namun malam
hari tadi semuanya sudah dibagikan kepada orang-orang miskin.”
Maka Ibnu Wa’il pergi menepukkan satu
tangannya ke tangan lainnya. Lalu ia pergi mencari tempat yang agak tinggi.
Dari sana ia berteriak, “Hai para pedagang. Apa yang kalian lakukan dengan
dunia? Lihatlah Ibnu Umar. Ia mendapat tunjangan ribuan dirham lalu semuanya ia
bagikan. Keesokan harinya, ia membeli makanan untanya dengan berutang.”
Memang, seseorang yang gurunya adalah
Muhammad saw. Dan ayahnya adalah Umar, pastilah seorang yang sangat luar biasa.
Kedermawanan, kezuhudan dan ketakwaan
Ibnu Umar adalah tiga sifat yang membuktikan bahwa dia adalah pengikut Muhammad
sejati dan seorang anak yang berbakti.
Lihatlah bagaimana ia berusaha
mengikuti semua perilaku Rasuulullah secara sempurna. Ia pernah menghentikan
untanya di tempat ia pernah melihat unta Rasulullah berhenti di tempat itu. Ia
berharap kaki untanya menginjak bekas telapak kaki unta beliau.
Begitu juga dengan baktinya kepada
sang ayah. Ketaatan dan penghormatan Ibnu Umar kepada ayahnya menjadikan Umar
ra. Disegani lawan, dikagumi kerabat dan anak-anaknya.
Jadi, tidak masuk akal jika orang
yang begitu setia kepada Rasulullah dan begitu taat kepada ayahnya, lalu
menjadi budak harta. Harta kekayaan memang datang kepadanya berlimpah ruah,
tetapi hanya sekedar lewat.
Kedermawanannya bukan untuk
menyombongkan diri atau mendapat pujian orang lain. Pemberiannya hanya
ditujukan kepada orang-orang miskin. Ia jarang makan sendiri. Ia selalu
mengajak anak-anak yatim atau orang-orang miskin. Tidak jarang ia menegur
anak-anaknya yang menyediakan jamuan untuk orang-orang kaya dan tidak
mengundang orang-orang miskin. Ia berkata, “Kalian undang orang-orang yang kekenyangan,
dan kalian tinggalkan orang-orang yang kelaparan.”
Orang-orang miskin sangat kenal
dengan Ibnu Umar. Mereka telah merasakan kasih sayang dan kebaikannya. Mereka
berharap diajak ke rumahnya. Pendeknya, mereka berkerumun di sekitar Ibnu Umar
seperti kawanan lebah yang mengerumuni bungan untuk mengambil sari madunya.
Bagi Ibnu Umar harta adalah
pelayan, bukan majikan. Harta yang alat untuk mencukupi keperluan hidup, bukan
untuk bermewah-mewahan. Harta yang diperolehnya bukan miliknya semata, tetapi
juga hak orang-orang miskin.
Sifat zuhudnya sangat
mendukung kedermawannya. Ibnu Umar tidak ingin binasa oleh dunia. Keperluan
duniawi yang diharapkan hanyalah pakaian untuk menetupi tubuhnya dan makanan
untuk mengganjal perutnya.
Seorang temannya yang baru datang
dari Khurasan membawa hadiah untuknya berupa pakaian halus nan indah, “Aku bawa
baju ini dari Khurasan, sebagai hadiah untukmu. Alangkah senangnya hatiku
melihatmu mengganti pakaian kasarmu itu dengan pakaian halus ini.”
“Coba lihat.” Jawab Ibnu Umar.
Lalu ia menyentuhnya, “Apakah ini sutra?”
Sahabatnya menjawab, “Tidak.
Ini katun.”
Ibnu Umar mengusapnya
sebentar, lalu mengembalikan baju itu kepada sahabatnya, “Aku tidak mau. Aku
takut pada diriku sendiri. Aku khawatir baju ini akan menjadikanku sombong. Dan
Allah tidak suka kepada orang yang sombong.”
Suatu hari, ia diberi hadiah
satu wadah berisi penuh. Ia bertanya, “Apa ini?”
Orang itu menjawab, “Obat
mujarab dari Irak.”
“Apa khasiatnya?”
Ibnu Umar tersenyum, lalu
berkata, “Melancarkan pencernaan?” Selama 40 tahun ini aku belum pernah makan
sampai kenyang.”
Lihatlah, ia tidak pernah
makan sampai kenyang selama 40 tahun. Bukan mereka miskin, tetapi karena sifat
zuhud dan upayanya mencontoh Rasulullah dan ayahnya. Ia takut jika pada hari
Kiamat kelak, ia disodori pertanyaan, “Apakah kenikmatan kalian telah kalian
habiskan di dunia, dan kalian bersenang-senang dengan kenikmatan itu?” Ia
sangat sadar bahwa keberadaannya di dunia hanayalh seorang tamu atau seorang
musafir yang numpang lewat.
Ia pernah berkata, “Sejak
Rasulullah wafat, aku tidak pernah membangun tembok atau menanam kurma.”
Maimun bin Mahran berkata,
“Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-brang yang terdapat di
sana berupa ranjang, selimut, tikar, dan apa saja yang ada dirumahnya. Semuanya
senilai 100 dirham.”
Keadaan seperti ini bukan
karena Ibnu Umar orang msikin, karena ia bepenghasilan besar. Dan bukan karena
ia orang yang pelit, Karena ia orang yang sangat pemurah dan dermawan.
Semua itu karena zuhudnya
terhadap Dunia, tidak mau bermegahan, dan selalu ingin dalam keshalihan.
Ibnu Umar dikaruniai usia
panjang, bahkan sampai hidup di masa pemerintahan bani Umayyah. Saat kekayaan
melimpah ruah, dan sawah ladang ada di mana-mana. Bahkan rumah-rumah kaum
muslimin penuh dengan perabotan mewah hingga bisa disebut sebagai istana. Namun
Ibnu Umar tetap teguh pendiriannya. Ia tetap konsisten dalam kezuhudan dan
keshalihan. Jika ditawari kemewahan dunia, ia hanya menjawab, “Aku dan
kawan-kawanku telah menyepakati sesuatu. Jika aku menyalahi kesepakatan itu,
aku khawatir tidak bisa bertemu dengan mereka.”
Ia juga memberitahukan kepada
kita bahwa ia meninggalkan kekayaan dunia bukan karena ia tidak mampu
mendapatkannya, lalu ia menadahkan tangannya ke langit dan berdoa, “Ya Allah,
Engkau mengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepada-MU, tentulah kami
akan ikut berdesakan dengan bangsa kami (orang-orang Quraisy) memperebutkan
dunia ini.”
Benar seandainya ia tidak
takut kepada Allah, tentu ia akan ikut memperebutkan dunia dan ia akan
berhasil. Akan tetapi a tidak punya keinginan memperebutkan dunia. Bahkan dunia
selalu mengejarnya dengan segala rayuan dan tipu muslihat.
Adakah yang lebih menarik dari
jabatan Khalifah?
Berkali-kali jabatan itu
ditawarkan kepada Ibnu Umar, ia tetap menolak. Bahkan ia pernah diancam jika
tak mau menerimanya. Namun, pendiriannya semakin teguh dan penolakannya semakin
keras.
Hasan ra. Menceritakan,
“Setelah Utsman bin Affan terbunuh, kelompok kaum muslimin menemui Abdullah bin
Umar dan bekata, “Engkau adalah seorang pemimpin dan putra seorang pemimpin.
Kemarilah, agar orang-orang berbaiat kepadamu!”
Dia menjawab, “Demi Allah!
Jika bisa, jangan sampai ada setets darah pun yang tumpah karena aku.”
Mereka berkata, “Engkau harus
bersedia. Kalau tidak, kami akan membunuhmu di tempat tidurmu.”
Mereka terus membujuk dan
mengancamnya. Akan tetapi, mereka tidak berhasil.
Waktu terus berjalan.
Kerusakan terjadi dimana-mana. Ibnu Umar tetap menjadi harapan kaum muslimin
untuk menjadi Khalifah. Akan tetapi, dia tetap menolak.
Penolakan ini menimbulkan
pertanyaan tersendiri yang tertuju pada Ibnu Umar. Namun ia mempunyai alasan.
Setelah Utsman ra. terbunuh,
keadaan kaum muslimin semakin memburuk. Meskipun Ibnu Umar tidak berambisi
menjadi Khalifah, akhirnya ia bersedia memikul tanggung jawab itu dan
risikonya. Dengan syarat, semua kaum muslimin setuju dengan kepimpinannya, dan
tidak ada satu orang pun yang berbaiat kepadanya karena ancaman.
Syarat yang ditentukan Ibnu
Umar tidak mungkin terpenuhi pada saat itu, meskipun ia mendapat tempat
tersendiri di hati kaum muslimin karena ketakwaan dan kemuliannya. Akan tetapi,
luasnya daerah dan letaknya yang berjauhan, di tambah lagi pertikaian yang
terjadi di antara kaum muslimin, menyebabkan mereka terpecah-pecah. Tidak
jarang terjadi peperangan di antar kelompok-kelompok itu.
Suatu hari, seorang laki-laki
menjumpainya dan berkata, “Tidak seorang pun yang lebih buruk perlakuannya
terhadap umat Muhammad daripada dirimu.”
Ibnu Umar menjawab, “Mengapa?
Demi Allah, aku tidak pernah menumpahkan darah mereka. Aku tidak pernah keluar
dari kesatuan kaum muslimin. Aku juga tidak pernah memecah-belah mereka.”
Laki-laki itu berkata,
“Seandainya kamu mau menjadi Khalifah, tidak seorang pun yang akan menentang.”
Ibnu Umar menjawab, “Aku tidak
suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lainnya tidak.”
Kemudian peristiwa berkembang
sedemikian rupa, Jabatan Khalifah dipegang oleh Mu’awiyah. Kemduian digantikan
putranya (Yazid bin Mu’awiyah). Lalu digantikan putranya (Mu’awiyah bin Yazid
atau yang dijuluki Mu’awiyah kedua). Mu’awiyah kedua meletakkan jabatan karena
tidak begitu tertarik dengan jabatan ini.
Sampai detik itu, meskipun
Ibnu Umar sudah tua renta, namun kaum muslimin masih berharap kepadanya untuk
menjadi Khalifah.
Khalifah marwan datang
kepadanya dan berkata, “Ulurkan tanganmu.. Biarkan kami berbaiat kepadamu.
Engkau adalah kaum muslimin dan putra pemimpin kaum muslimin.”
Ibnu Umar bertanya, “Apa yang akan kita
lakukan terhadap orang-orang wilayah timur.”
Marwan menjawab, “Kita gempur
mereka hingga mau berbaiat.”
Ibnu Umar berkata, “Demi
Allah, dalam usiaku yang ke-70 ini, aku tidak mau ada seorang muslim pun yang
terbunuh karena aku.”
Marwan pergi sambil
mengucapkan sebuah syair,
Api kekacauan terus berkobar
Sepeninggal Mu’awiyahh,
kekuasaan berada di tangan yang kuat. [bersambung/dn]
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid
Muhammad Khalid/Al Itishom
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !