Abdullah Bin Umar [2] – Zuhud dan Menolak Menjadi Khalifah - Situs Portal Berita Keluarga Muslim Indonesia
Headlines News :
Home » , , , » Abdullah Bin Umar [2] – Zuhud dan Menolak Menjadi Khalifah

Abdullah Bin Umar [2] – Zuhud dan Menolak Menjadi Khalifah

Wednesday, October 1, 2014 | 10:58 PM



Khalifahlife.com - Bisa dibilang, Ibnu Umar adalah “Teman Malam” dan “Pendamping Waktu Sahur.” Ia habiskan  waktu malam untuk shalat. Dan di pengunjung malam, ia terdengar menangis tersedu-sedu memohon ampun dan beristigfar.

Saat remaja, ia pernah bermpimpi. Lalu mimpi itu ditafsiri oleh Rasullah yang membuat Ibnu Umar menggebu-gebu melakukan qiyamul lail.

Apa mimpinya itu? Marilah kita dengarkan bagaimana ia bercerita.

“Semasa Rasulullah saw. Aku bermimpi seolah-olah ditanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja di surga yang kuingini, maka beludru itu menerbangkan ke sana. Aku juga melihat dua orang mendatangiku dan ingin membawaku ke neraka. Lalu seorang malaikat mencegahnya dan berkata, `Jangaan ganggu dia.’ Maka aku dilepaskan. Saudara perempuanku yang bernama Hafshah menceritakan mimpiku itu kepada Rasulullah. Beliau berkomentar, ‘Abdullah sangat beruntung, jika ia mau memperbanyak shalat malam.'"

Sejak saat itu, hingga ia wafat, bertemu Tuhannya, ia tidak pernah meninggalkan qiyamul lail. Di rumah maupun ketika bepergian.

Sejak saat itu, waktunya ia habiskan untuk shalat, membaca Al-Quran, matanya berderai air mata.
Ubaid bin Umair pernah berkata, “Aku pernah membacakan ayat berikut kepada Ibnu Umar, ‘Maka bagaimanakah (orang-orang kafir nanti), apalagi kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.” (An-Nisa:41-41)

Suatu hari ia duduk di antara kawan-kawannya, lalu membaca,

“Kecelakaan bersarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (Al-Muthaffifin: 1-6) Ia mengulang-ulang ayat keenam, “(Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.” Dan air matanya terus mengalir, sampai ia jatuh pingsan.

Kedermawanan, kezuhudan dan ketakwaannya bergerak bersama-sama dengan irama sempurna membentuk satu kepribadian mengagumkan dalam diri manusia besar ini. Ia telah banyak memberi, karena ia seorang yang sangat dermawan. Yang ia berikan hanyalah yang halal dan baik, karena ia seorang yang bertakwa dan shalih. Ia tetap memberi dan tidak takut menjadi miskin, karena ia seorang yang zuhud dan tidak peduli pada dunia.

Ibnu Umar termasuk orang yang penghasilannya cukup besar. Ia seorang pedagang yang jujur dan sukses. Tunjangan hidup dari kas Negara juga cukup besar. Akan tetapi semua itu tidak ia simpan untuk memperkaya diri. Ia bagikan hartanya kepada orang-orang miskin.

Ayub bin Wa’il ar-Rasibi pernah bercerita tentang tunjangan yang diterima oleh Ibnu Umar. “Suatu hari, aku melihat Ibnu Umar mendapat tunjangan 4.000 dirham dan satu mantel. Esok harinya, aku melihatnya di pasar membeli makanan unta dengan berutang. Lalu aku pergi menemui keluarganya menanyakan perihalnya yang berutang di pasar padahal kemarin baru mendapat tunjangan 4.000  dirham dan satu mantel.”

Mereka menjawab, “Betul. Namun malam hari tadi semuanya sudah dibagikan kepada orang-orang miskin.”
Maka Ibnu Wa’il pergi menepukkan satu tangannya ke tangan lainnya. Lalu ia pergi mencari tempat yang agak tinggi. Dari sana ia berteriak, “Hai para pedagang. Apa yang kalian lakukan dengan dunia? Lihatlah Ibnu Umar. Ia mendapat tunjangan ribuan dirham lalu semuanya ia bagikan. Keesokan harinya, ia membeli makanan untanya dengan berutang.”

Memang, seseorang yang gurunya adalah Muhammad saw. Dan ayahnya adalah Umar, pastilah seorang yang sangat luar biasa.

Kedermawanan, kezuhudan dan ketakwaan Ibnu Umar adalah tiga sifat yang membuktikan bahwa dia adalah pengikut Muhammad sejati dan seorang anak yang berbakti.

Lihatlah bagaimana ia berusaha mengikuti semua perilaku Rasuulullah secara sempurna. Ia pernah menghentikan untanya di tempat ia pernah melihat unta Rasulullah berhenti di tempat itu. Ia berharap kaki untanya menginjak bekas telapak kaki unta beliau.

Begitu juga dengan baktinya kepada sang ayah. Ketaatan dan penghormatan Ibnu Umar kepada ayahnya menjadikan Umar ra. Disegani lawan, dikagumi kerabat dan anak-anaknya.

Jadi, tidak masuk akal jika orang yang begitu setia kepada Rasulullah dan begitu taat kepada ayahnya, lalu menjadi budak harta. Harta kekayaan memang datang kepadanya berlimpah ruah, tetapi hanya sekedar lewat.

Kedermawanannya bukan untuk menyombongkan diri atau mendapat pujian orang lain. Pemberiannya hanya ditujukan kepada orang-orang miskin. Ia jarang makan sendiri. Ia selalu mengajak anak-anak yatim atau orang-orang miskin. Tidak jarang ia menegur anak-anaknya yang menyediakan jamuan untuk orang-orang kaya dan tidak mengundang orang-orang miskin. Ia berkata, “Kalian undang orang-orang yang kekenyangan, dan kalian tinggalkan orang-orang yang kelaparan.”

Orang-orang miskin sangat kenal dengan Ibnu Umar. Mereka telah merasakan kasih sayang dan kebaikannya. Mereka berharap diajak ke rumahnya. Pendeknya, mereka berkerumun di sekitar Ibnu Umar seperti kawanan lebah yang mengerumuni bungan untuk mengambil sari madunya.

Bagi Ibnu Umar harta adalah pelayan, bukan majikan. Harta yang alat untuk mencukupi keperluan hidup, bukan untuk bermewah-mewahan. Harta yang diperolehnya bukan miliknya semata, tetapi juga hak orang-orang miskin.

Sifat zuhudnya sangat mendukung kedermawannya. Ibnu Umar tidak ingin binasa oleh dunia. Keperluan duniawi yang diharapkan hanyalah pakaian untuk menetupi tubuhnya dan makanan untuk mengganjal perutnya.

Seorang temannya yang baru datang dari Khurasan membawa hadiah untuknya berupa pakaian halus nan indah, “Aku bawa baju ini dari Khurasan, sebagai hadiah untukmu. Alangkah senangnya hatiku melihatmu mengganti pakaian kasarmu itu dengan pakaian halus ini.”                                            

“Coba lihat.” Jawab Ibnu Umar. Lalu ia menyentuhnya, “Apakah ini sutra?”

Sahabatnya menjawab, “Tidak. Ini katun.”

Ibnu Umar mengusapnya sebentar, lalu mengembalikan baju itu kepada sahabatnya, “Aku tidak mau. Aku takut pada diriku sendiri. Aku khawatir baju ini akan menjadikanku sombong. Dan Allah tidak suka kepada orang yang sombong.”

Suatu hari, ia diberi hadiah satu wadah berisi penuh. Ia bertanya, “Apa ini?”
Orang itu menjawab, “Obat mujarab dari Irak.”

“Apa khasiatnya?”

Ibnu Umar tersenyum, lalu berkata, “Melancarkan pencernaan?” Selama 40 tahun ini aku belum pernah makan sampai kenyang.”

Lihatlah, ia tidak pernah makan sampai kenyang selama 40 tahun. Bukan mereka miskin, tetapi karena sifat zuhud dan upayanya mencontoh Rasulullah dan ayahnya. Ia takut jika pada hari Kiamat kelak, ia disodori pertanyaan, “Apakah kenikmatan kalian telah kalian habiskan di dunia, dan kalian bersenang-senang dengan kenikmatan itu?” Ia sangat sadar bahwa keberadaannya di dunia hanayalh seorang tamu atau seorang musafir yang numpang lewat.

Ia pernah berkata, “Sejak Rasulullah wafat, aku tidak pernah membangun tembok atau menanam kurma.”
Maimun bin Mahran berkata, “Saya masuk ke rumah Ibnu Umar dan menaksir harga barang-brang yang terdapat di sana berupa ranjang, selimut, tikar, dan apa saja yang ada dirumahnya. Semuanya senilai 100 dirham.”

Keadaan seperti ini bukan karena Ibnu Umar orang msikin, karena ia bepenghasilan besar. Dan bukan karena ia orang yang pelit, Karena ia orang yang sangat pemurah dan dermawan.

Semua itu karena zuhudnya terhadap Dunia, tidak mau bermegahan, dan selalu ingin dalam keshalihan.
Ibnu Umar dikaruniai usia panjang, bahkan sampai hidup di masa pemerintahan bani Umayyah. Saat kekayaan melimpah ruah, dan sawah ladang ada di mana-mana. Bahkan rumah-rumah kaum muslimin penuh dengan perabotan mewah hingga bisa disebut sebagai istana. Namun Ibnu Umar tetap teguh pendiriannya. Ia tetap konsisten dalam kezuhudan dan keshalihan. Jika ditawari kemewahan dunia, ia hanya menjawab, “Aku dan kawan-kawanku telah menyepakati sesuatu. Jika aku menyalahi kesepakatan itu, aku khawatir tidak bisa bertemu dengan mereka.”

Ia juga memberitahukan kepada kita bahwa ia meninggalkan kekayaan dunia bukan karena ia tidak mampu mendapatkannya, lalu ia menadahkan tangannya ke langit dan berdoa, “Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa kalau tidaklah karena takut kepada-MU, tentulah kami akan ikut berdesakan dengan bangsa kami (orang-orang Quraisy) memperebutkan dunia ini.”

Benar seandainya ia tidak takut kepada Allah, tentu ia akan ikut memperebutkan dunia dan ia akan berhasil. Akan tetapi a tidak punya keinginan memperebutkan dunia. Bahkan dunia selalu mengejarnya dengan segala rayuan dan tipu muslihat.

Adakah yang lebih menarik dari jabatan Khalifah?

Berkali-kali jabatan itu ditawarkan kepada Ibnu Umar, ia tetap menolak. Bahkan ia pernah diancam jika tak mau menerimanya. Namun, pendiriannya semakin teguh dan penolakannya semakin keras.
Hasan ra. Menceritakan, “Setelah Utsman bin Affan terbunuh, kelompok kaum muslimin menemui Abdullah bin Umar dan bekata, “Engkau adalah seorang pemimpin dan putra seorang pemimpin. Kemarilah, agar orang-orang berbaiat kepadamu!”

Dia menjawab, “Demi Allah! Jika bisa, jangan sampai ada setets darah pun yang tumpah karena aku.”
Mereka berkata, “Engkau harus bersedia. Kalau tidak, kami akan membunuhmu di tempat tidurmu.”
Mereka terus membujuk dan mengancamnya. Akan tetapi, mereka tidak berhasil.

Waktu terus berjalan. Kerusakan terjadi dimana-mana. Ibnu Umar tetap menjadi harapan kaum muslimin untuk menjadi Khalifah. Akan tetapi, dia tetap menolak.

Penolakan ini menimbulkan pertanyaan tersendiri yang tertuju pada Ibnu Umar. Namun ia mempunyai alasan.
Setelah Utsman ra. terbunuh, keadaan kaum muslimin semakin memburuk. Meskipun Ibnu Umar tidak berambisi menjadi Khalifah, akhirnya ia bersedia memikul tanggung jawab itu dan risikonya. Dengan syarat, semua kaum muslimin setuju dengan kepimpinannya, dan tidak ada satu orang pun yang berbaiat kepadanya karena ancaman.

Syarat yang ditentukan Ibnu Umar tidak mungkin terpenuhi pada saat itu, meskipun ia mendapat tempat tersendiri di hati kaum muslimin karena ketakwaan dan kemuliannya. Akan tetapi, luasnya daerah dan letaknya yang berjauhan, di tambah lagi pertikaian yang terjadi di antara kaum muslimin, menyebabkan mereka terpecah-pecah. Tidak jarang terjadi peperangan di antar kelompok-kelompok itu.

Suatu hari, seorang laki-laki menjumpainya dan berkata, “Tidak seorang pun yang lebih buruk perlakuannya terhadap umat Muhammad daripada dirimu.”

Ibnu Umar menjawab, “Mengapa? Demi Allah, aku tidak pernah menumpahkan darah mereka. Aku tidak pernah keluar dari kesatuan kaum muslimin. Aku juga tidak pernah memecah-belah mereka.”

Laki-laki itu berkata, “Seandainya kamu mau menjadi Khalifah, tidak seorang pun yang akan menentang.”
Ibnu Umar menjawab, “Aku tidak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lainnya tidak.”

Kemudian peristiwa berkembang sedemikian rupa, Jabatan Khalifah dipegang oleh Mu’awiyah. Kemduian digantikan putranya (Yazid bin Mu’awiyah). Lalu digantikan putranya (Mu’awiyah bin Yazid atau yang dijuluki Mu’awiyah kedua). Mu’awiyah kedua meletakkan jabatan karena tidak begitu tertarik dengan jabatan ini.

Sampai detik itu, meskipun Ibnu Umar sudah tua renta, namun kaum muslimin masih berharap kepadanya untuk menjadi Khalifah.

Khalifah marwan datang kepadanya dan berkata, “Ulurkan tanganmu.. Biarkan kami berbaiat kepadamu. Engkau adalah kaum muslimin dan putra pemimpin kaum muslimin.”

Ibnu Umar bertanya, “Apa yang akan kita lakukan terhadap orang-orang wilayah timur.”

Marwan menjawab, “Kita gempur mereka hingga mau berbaiat.”

Ibnu Umar berkata, “Demi Allah, dalam usiaku yang ke-70 ini, aku tidak mau ada seorang muslim pun yang terbunuh karena aku.”

Marwan pergi sambil mengucapkan sebuah syair,
Api kekacauan terus berkobar
Sepeninggal Mu’awiyahh, kekuasaan berada di tangan yang kuat. [bersambung/dn]

Sumber :  60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom
Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
KANAL : REDAKSI | IKLAN | HUBUNGI KAMI
Copyright © 2011. Situs Portal Berita Keluarga Muslim Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger