Khalifahlife.com - Dahulu kata cerai adalah hal yang tabu di
Indonesia, namun faktanya saat ini angka perceraian di Indonesia cukup tinggi, yakni
333 ribu per tahunnya. Dalam website resmi Badan Peradilan Agama (badilag.net) rata-rata
20% per tahun. Angka tersebut menunjukkan Indonesia memilliki tingkat
perceraian tertinggi se-Asia Pasifik.
Apa sajakah
penyebab perceraian yang cukup tinggi di Indonesia ?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh menyatakan
bahwa pernikahan dini (muda) dapat memicu peningkatan jumlah perceraian. Hal
ini dikatakannya terkait dengan revisi Undang-undang (UU) Pernikahan yang
mencantumkan batas usia pernikahan 16 tahun pada perempuan. usia 16 tahun masuk
dalam usia sekolah sehingga akan berdampak pada masa depan seorang perempuan.
Menurutnya, pernikahan memerlukan tiga perspektif yakni kematangan dari sisi
fisik, psikologis, dan dari sisi ekonomi.
"Tapi kalau usia 16 tahun kan masih SMA kelas 1, paling
tidak nunggu sampai lulus lah usia 19 tahun. Karena pernikahan perlu komitmen
untuk memberikan pengasuhan kepada anaknya, dan banyak implikasinya kalau
menikah terlalu muda," kata Nuh di Kantor Bappenas
Niat perkawinan
setiap pasangan harus diawali dengan asas keadilan, kesetaraan, dan kebahagiaan.
Hal itu untuk mencegah egoisme, dominasi, beban berlebihan, dan kekerasan yang
menyebabkan perceraian, menurut Dr. Sudibyo Alimoeso MA, Deputi Keluarga
Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN. Ia pun mengungkapkan bahwa
berdasarkan data di Badan Peradilan Agama 70 persen perceraian itu karena gugat
cerai dari pihak istri dengan alasan tertinggi ketidakharmonisan.
Alasan ketidakharmonisan rumah tangga juga tercatat sebagai
alasan yang banyak diungkap dalam kasus perceraian di Kabupaten Malang, Jawa
Timur. Sebanyak 2.677 perempuan di Kabupaten Malang, Jawa
Timur, menggugat cerai suaminya di Pengadilan Agama setempat yang mencatat 4.097
perkara cerai dalam kurun waktu Januari s.d. Juli 2014.
Selain ketidakharmonisan
rumah tangga, ada pula alasan lain seperti suami yang tidak bertanggung jawab,
suami terjerat kasus hukum, dan karena nikah paksa.
Menurut penelitian seorang
penulis yang melakukan pengamatan di Pengadilan Agama kabupaten dan kota di
Sumatera Barat mengungkap beberapa alasan yang sering menjadi alasan perceraian
pasangan suami istri, sebagai berikut :
- Kebanyakan kasus perceraian yang terjadi justru dialami oleh pasangan dengan usia perkawinan yang relatif muda (kurang dari 10 tahun).
- Rata-rata usia pasangan yang bercerai berkisar di bawah 45 tahun (laki-laki) dan 40 tahun (perempuan).
- Kalau dilihat dari segi fisik, pasangan yang "dianggap" memiliki kecantikan dan ketampanan mendominasi perceraian dibandingkan yang berwajah pas-pasan.
- Salah satu pasangan (umumnya suami) tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya (istri dan anak-anak).
- Salah satu pasangan (umumnya istri) terlalu menuntut dan tidak bisa menghargai hasil usaha pasangannya (suami).
- Kasus perceraian yang terjadi karena orang ketiga lebih banyak disebabkan karena adanya jarak antara pasangan, apakah itu jarak dalam arti harfiah, maupun jarak dalam arti psikologis.
- Beberapa kasus perceraian disebabkan karena permasalahan sepele, namun berakibat fatal karena tidak adanya keterbukaan antara suami-istri, ataupun pihak keluarga suami-istri.
- Dalam beberapa kasus, keterlibatan pihak keluarga yang berlebihan, atau mendominasi rumah tangga anak-anaknya juga mempunyai andil yang besar mengantarkan pasangan suami-istri ke gerbang perceraian.
- Ketidakjujuran, atau tidak adanya koordinasi yang baik antar suami-istri dalam hal finansial (income dan outcome) juga menjadi salah satu pemicu perceraian.
- Pada beberapa kasus penulis dapati antara pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri malah tidak memiliki komunikasi yang baik, bahkan yang lebih parah adalah ada yang tidak pernah melakukan komunikasi. Hal seperti ini biasanya terjadi karena perkawinan antara pasangan (anak-anak mereka) tersebut tidak mendapat restu dari pihak keluarga.
- Beberapa kasus perceraian, yang sering dijadikan alasan perceraian oleh salah satu pasangan (umumnya istri) adalah akhlak atau kelakuan salah satu pihak yang buruk, seperti berjudi, mabuk, suka main pukul, dan terjerat narkoba. Anehnya, untuk kasus ini rata-rata pasangan tersebut sudah mengetahui bahwa pasangannya sudah memiliki tabiat seperti itu sejak masih berstatus lajang.
Dr. Soedibyo menuturkan, angka perceraian di Indonesia
adalah hal yang menyedihkan. Betapa banyak anak yang kemudian harus menjalani
takdir hidup tak bersama ayah dan ibunya secara utuh. Di samping itu, tak
sedikit menjadi koban perebutan kuasa asuh. Padahal, hal itu membuat dampak
negatif secara psikis.
Dia menjelaskan bahwa tingginya data perceraian di Indonesia
menjadi perihal serius karena keluarga merupakan pendidikan pertama yang
meletakkan dasar-dasar kepribadian, etika, dan moral anak-anak. Untuk itu,
setiap orang yang ingin menikah sekarang harus menata ulang niat perkawinan
yang dimiliki, yakni menjadikannya sebagai lahan ibadah kepada Tuhan dan sarana
menjalani silaturahmi, atau saling memahami agar menjadi keluarga bahagia.[wn/berbagai
sumber]

0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !