Salman Al Farisi [3] - Zuhud Terhadap Dunia - Situs Portal Berita Keluarga Muslim Indonesia
Headlines News :
Home » , , , , » Salman Al Farisi [3] - Zuhud Terhadap Dunia

Salman Al Farisi [3] - Zuhud Terhadap Dunia

Wednesday, August 27, 2014 | 2:30 PM



Khalifahlife.com - Dengan kata-kata indah dan jelas, cerita ini mengalir dari bibir Salman Al-Farisi. Cerita yang menggambarkan perjalanan panjang dan terjal seorang pejuang besar dalam mencari kebenaran. Mencari agama yang paling benar. Agama yang akan menjadi panduan jalan hidupnya.

Adakah pejuang besar seperti dia?

Jiwa besar dan kemauan kuat menjadikannya mampu mengatasi semua rintangan. Mampu mengubah yang mustahil menjadi mungkin.

Kecenderungan terhadap kebenaran menyebabkan ia rela meninggalkan ladang, kekayaan dan segala fasilitas yang disediakan ayahnya. Ia memilih pergi ke daerah yang belum dikenal, dengan segala rintangan dan penderitaan. Berpindah dari satu daerah ke daerah lain; dari satu negeri ke negeri lain, tanpa kenal lelah, dengan tetap menjalankan ibadah. Pandangannya yang tajam selalu mencermati segala bentuk manusia, pola pikir dan kehidupan mereka.

Tekadnya telah bulat untuk mencari kebenaran. Pengorbananya juga sangat besar, bahkan ia rela menjadi budak belian. Akhirnya Allah membalasnya dengan balasan setimpal. Allah mempertemukannya dengan kebenaran. Mempertemukannya dengan Rasulullah saw. Allah juga memberinya umur panjang hingga ia bisa menyaksikan panji-panji Islam berkibar di seluruh penjuru dunia. Saat Bumi dipenuhi oleh kaum muslimin yang menggemakan kebenaran dan keadilan.

Menurut Anda, sejauh mana kualitas keislaman seorang, jika semangat dan ketulusannya seperti ini?

Sungguh, keislaman Salman adalah keislaman pilih tanding. Kezuhudan, kecerdasan, dan ketakwaanya sangat mirip dengan Umar bin Khaththab ra.

Ia pernah tinggal bersama Abu Darda selama beberapa hari. Abu Darda selalu berpuasa disiang hari dan menghabiskan malam untuk shalat tahajud. Melihat kondisi Abu Darda seperti ini, Slaman melarangnya agar tidak keterlaluan dalam beribadah.

Suatu malam Salman ingin menggagalkan tedaak Abu Darda untuk berpuasa sunah. Maka Abu Darda berkata, “Apakah engkau melarangku puasa dan shalat?”

Salman menjawab, “sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak yang harus kamu penuhi, demikian pula istrimu. Jangan puasa tiap hari dan berikan kesempatan kepada matamu untuk tidur.”

Peristiwa itu sampai kepada Rasulullah. Beliau bersabda, “Sungguh, Salman telah dikaruniai ilmu yang luas.”

Rasulullah saw. Sendiri sering memuji kecerdasan dan luasnya ilmu Salman. Beliau juga memuji akhlaknya yang luhur dan ketaatannya terhadap hukum agama.

Di waktu Perang Khandaq, kaum Anshar sama-sama berdiri dan berkata, “Salman dari golongan kami.”

Kaum Muhajirin juga berdiri dan berkata, “Tidak. Dia dari golongan kami.”

Namun Rasulullah menengahi dengan sabdanya, “Salman dalah golongan kami, ahlul abit.”

Dan sudah selayaknya jika Salman mendapatkan kehormatan seperti ini.

Ali bin Abi Thalib ra. Menyamakan Salman dengan “Lukmanul Hakim.” Setelah Salman wafat, Ali berkomentar, “Dia bermula dari kami dan berakhir kepada kami, ahlul bait. Siapa di antara kalian yang menyamai Lukmanul Hakim. Ia diberi ilmu pertama dan ilmu terakhir. Ia membaca buku pertama dan buku terakhir. Ia adalah samudra yang takkan kering.”

Di hati para sahabat, ia menempati posisi tertinggi. Pada masa pemerintahan Umar ra. Ia datang berkunjung ke Madinah, maka Umar siapapun. Umar ra. Mengumpulkan rekan-rekannya dan mengajak mereka, “Marilah kita sambut kedatangan Salman.” Lalu mereka menuju pinggiran kota Madinah untuk menyambutnya.

Sejak bertemu dengan Rasulullah dan beriman kepadanya, Salman hidup sebagai seorang muslim yang merdeka, sebagai pejuang dan taat beribadah.

Salman dikaruniai usia panjang. Ia menyaksikan pemerintahan Abu Bakar dan Umar ra. Ia meninggal dunia, kembali kepada Tuhannya, pada masa pemerintahan Utsman ra.

Di tahun-tahun terakhir kehidupan Salman itulah, panji-panji Islam berkibar di seluruh penjuru dunia. Harta benda dan kekayaan mengalir ke Madinah, baik yang berasal dari pajak maupun yang lainnya. Lalu kekayaan itu dibagikan ke warga sebagai tunjangan hidup yang dibagikan setiap bulan.

Secara otomatis tanggung jawab Negara bertambah, dan kebutuhan akan orang-orang yang mampu menjadi pemimpin daerah juga bertambah.

Dalam kondisi seperti ini, dimanakah Salman?

Dalam kondsisi Negara dipenuhi kekayaan, di manakah Salman?

Perhatikanlah ia dengan saksama.

Lihatlah laki-laki tua berwibawa yang sedang duduk di bawah pohon. Lihatlah bagaimana ia asyik menganyam daun korma untuk dijadikan keranjang.
Laki-laki itu adalah Salman ra. Yang sedang kita bicarakan.

Perhatikanlah lagi.
Lihatlah gamisnya yang pendek, hanya sampai laut. Padahal saat itu ia orang yang dihormati dan disegani. Gaji yang diterimanya juga tidak sedikit: antara 4.000-6.000 dinar setahun. Namun, semuanya ia bagikan. Tidak sedikit pun ia ambil untuk kpentingan dirinya.
Dengarkan perkataannya, “Aku membeli daun kurma seharga satu dirham. Daun itu kubuat keranjang. Kemudia kujual dengan harga tiga dirham. Satu dirham kugunakan untuk modal usaha, satu dirham untuk nafkah keluargaku, dan satu dirham lagi untuk sedekah. Meskipun Khalifah Umar ra. Melarangku berbuat demikian, aku tidak mau mengehentikannya.”

Wahai para pengikut Muhammad saw.!
Wahai kalian yang mengagungkan kemanusiaan!
Ketika mendengar kehidupan generasi sahabat yang amat bersahaja, seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar dan lainnya, sebgaian kita menyangka bahwa itu disebabkan karakter hidup di Jazirah Arab saat itu, karakter hidup yang bershaja.

Tetapi sekarang kita berhadapan dengan seorang putra Persia. Suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan hidup. Dan ia bukan dari golongan miskin. Ia dari golongan kaya. Mengapa dia sekarang menolak kekayaan dan kesenangan, bertahan dalam kehidupan bersahaja, merasa cukup dengan satu dirham untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya? Satu dirham itu pun diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri.

Mengapa dengan gigih ia menolak jabatan? Ia berkata, “Seandainya kamu masih mampu makan tanah, asal tidak menjadi pemimpin, meskipun bawahanmu hanya dua orang, maka lakukanlah.”

Mengapa dia menolak semua jabatan kecuali jabatan panglima perang, atau kecuali ketika tidak ada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab itu selain dirinya? Ia menerima jabatan itu karena terpaksa dan isak tangis ketakutan.

Lalu mengapa setelah memegang jabatan itu, ia tidak mau menerima tunjangan yang diberikan secara halal?

Hisyam bin Hisan menyebutkan bahwa Hasan pernah mengatakan bahwa tunjangan Salman sebesar lima ribu dinar setahun. Namun demikian, ketika dia berpidato di hadapan 30 ribu orang, separuh baju luarnya (aba’ah) ia jadikan alas duduk, dan separuhnya lagi untuk menutupi badannya. Tunjangan hidup ia terima, ia bagi-bagikan sampai habis, sedangkan untuk nafkah keluarganya dia peroleh dari hasil usahanya sendiri.”

Mengapa ia melakukan semua ini? Mengapa ia amat zuhud kepada dunia, padahal dia seorang putra Persia, tempat kesenangan dan kebudayaan?

Marilah kita dengar jawaban beliau.
Saat itu dia terbaring di atas tempat tidur, sesaat sebelum ajal menjeputnya, sesaat sebelum jiwa mulianya bertemu dengan Tuhan yang Maha Tinggi dan Maha Penyayang. Saat itu, Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya. Tiba-tiba Salman menangis.

“Apa yang kamu tangiskan, wahai Abu Abdillah (panggilan Salman)? Padahal saat Rasulullah saw. Wafat, beliau ridha kepadamu?”

Salman menjawab, “Aku menangis bukan Karena takut mati atau mengharap kemewahan dunia. Rasulullah telah menyampaikan suatu kepada kita, “Hendaklah bagian kalian dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorng musafir.” Padahal harta milikku seperti ini banyaknya.”
Sa’ad menceritakan, “Aku perhatikan, tidak ada yang tampak di sekelilingku kecuali satu piring dan satu baskom. Lalu aku berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, berilah kami nasihat yang akan selalu kami ingat.”

Dia berkata, “Wahai Sa’ad, ingatlah Allah ketika kamu ingin sesuatu, ketika kamu memberikan keputusan, dan ketika membagi.”

Ternyata inilah yang telah mengisi hati Salman, sehingga ia tidak mau mendekatii kekayaan dan jabatan. Yaitu pesan Rasulullah saw. Kepadanya dan kepada semua sahabat, agar mereka tidak dikuasai oleh dunia dan tidak mengambil dunia kecuali sekedar bekal seorang musafir.

Salman telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk berangkat. Khawatir kalau-kalau dia telah melampaui batas yang ditetapkan. Di ruangannya hanya ada satu piring makan dan satu baskom tempat minum dan wudhu. Walau demikian dia menganggap dirinya telah berlaku boros.

Nah, bukanlah telah kami sampaikan kepada Anda bahwa dia mirip sekali dengan Umar ra..?
Ketika ia diangkat sebagai walikota Madain pun karakternya tidak berubah. Seperti yang kita tahu bahwa ia tidak mengambil sedikit pun dari gaji jabatannya. Ia memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya dengan bekerja menganyam daun kurma. Pakaiannya hanya baju luar sederhana, sederhana pakaiannya sebelum diangkat sebagai walikota.

Suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan, dia berjumpa dengan seorang laki-laki dari negeri Syam yang membawa sepikul buah tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, sehingga melelahkannya. Ketika orang Syam itu melihat laki-laki yang berpenampilan biasa dan tampak dari golorang orang tak punya,  ia berpikir hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan imbalan yang pantas sesampainnya di tempat tujuan. Orang Syam itu memanggil Salman, dan Salman mendekat. Orang itu berkata kepada Salman, “Tolong bawakan barang ku ini.” Maka Salman mengangkat barang itu, dan mereka berdua berjalan bersama-sama.

Di tengah jalan mereka berpapasan dengan satu rombongan. Salman mengucap salam kepada mereka. Mereka berhenti dan menjawab salam itu, “Kesejahteraan juga untuk walikota.” Orang Syam itu bertanya dalam hati, “Juga kepada walikota.” Siapa yang mereka maksud?” Kebenarannya semakin bertambah ketika beberapa orang dari rombongan itu bergegas mendekat dan berkata, “Biarkan kami yang membawanya.”

Barulah orang Syam itu sadar, bahwa kuli panggulnya itu adalah Salman Al-Farsi, walikota Madain. Orang itu pun menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf mengalir dari bibirnya. Dia mendekat hendak mengambil beban itu, tetapi Salman menolak. Salman berkata, “Tidak, biar kuantarkan sampai rumahmu.”

Salman pernah ditanya, “Apa sebabnya Anda tidak menyukai jabatan?”

Dia menjawab, “Jabatan itu terasa manis saat dipegang, dan pahit saat dilepas”
Suatu ketika, seorang rekannya berkunjung ke rumahnya. Melihat Salman sedang memasak, dia bertanya, “Ke mana pembantu Anda?”

Salman menjawab, “Aku suruh untuk suatu keperluan. Aku tidak ingin dia melakukan dua pekerjaan sekaligus.”

Kita menyebut Salman berada di rumahnya. Tahukah anda bagaimana rumah beliau?    
Ketika Salman ingin membangun rumahnya itu, ia bertanya kepada tukangnya, “Bagaimana model rumah yang hendak Anda bangun?”

Kebetulan tukang bangunan ini seorang yang arif bijaksana, mengetahui kesedarhanaan Salman dan sifatnya yang tidak suka kemewahan. Dia berkata, “Tuan jangan khawatir. Rumah ini bisa digunakan bernaung dari terik matahari dan berteduh dari guyuran hujan. Jika Tuan berdiri, kepala Tuan akan sampai ke atap, dan jika Tuan berbaring, kaki Tuan akan menyentuh dindingnya.”

Salman berkata, “Bagus. Rumah seperti itu yang harus kau bangun.”
Salman ra. Sama sekali tidak tertarik dengan dunia. Hanya ada satu barang yang membuatnya sangat tertarik. Ia meminta istrinya untuk menyimpan barang itu baik-baik.
Saat ia sakit, sebelum meninggal dunia, ia memanggil istrinya, “Ambilkan barang yang pernah kutitipkan kepadamu.”

Ternyata barang itu adalah wewangian kesturi yang ia perolah saat pembebasan kota Jalula. Sengaja ia simpan untuk wewangian saat ia meninggal dunia.

Ia meminta segelas air. Kasturi itu dimasukkan ke dalam air lalu diaduk. Ia berkata kepada istrinya, “Percikkanlah ke sekelilingku. Aku akan didatangi makhluk Allah yang tidak makan, namun suka dengan wewangian.”

Selesai memercikan kesturi. Ia berkata kepada istrinya, “Tutuplah pintu dan keluarlah.” Sang istri menuruti perintah Salman.

Beberapa saat kemudian, sang istri masuk ke tempat Salman, dan dijumpainya Salman telah pulang ke pangkuan Tuhannya. Salman ikut serta dengan malaikat yang menjemputnya, terbang dengan sayap-sayap kerinduan, karena dia mempunya janji. Janji bertemu dengan Rasul-nya; Muhammad saw, dengan dua rekannya; Abu Bakar ra. Dan Umar ra. Dan para syuhada dan orang-orang shalih.

Lama sudah dahaga kerinduan menyertai Salman.

Kini, air pelepas dahaga itu telah datang. [Tamat/dn]

Sumber : Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom

Share this article :

0 comments:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
KANAL : REDAKSI | IKLAN | HUBUNGI KAMI
Copyright © 2011. Situs Portal Berita Keluarga Muslim Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger