Khalifahlife.com - Dengan kata-kata
indah dan jelas, cerita ini mengalir dari bibir Salman Al-Farisi. Cerita yang
menggambarkan perjalanan panjang dan terjal seorang pejuang besar dalam mencari
kebenaran. Mencari agama yang paling benar. Agama yang akan menjadi panduan
jalan hidupnya.
Adakah pejuang
besar seperti dia?
Jiwa besar dan
kemauan kuat menjadikannya mampu mengatasi semua rintangan. Mampu mengubah yang
mustahil menjadi mungkin.
Kecenderungan
terhadap kebenaran menyebabkan ia rela meninggalkan ladang, kekayaan dan segala
fasilitas yang disediakan ayahnya. Ia memilih pergi ke daerah yang belum
dikenal, dengan segala rintangan dan penderitaan. Berpindah dari satu daerah ke
daerah lain; dari satu negeri ke negeri lain, tanpa kenal lelah, dengan tetap
menjalankan ibadah. Pandangannya yang tajam selalu mencermati segala bentuk
manusia, pola pikir dan kehidupan mereka.
Tekadnya telah
bulat untuk mencari kebenaran. Pengorbananya juga sangat besar, bahkan ia rela
menjadi budak belian. Akhirnya Allah membalasnya dengan balasan setimpal. Allah
mempertemukannya dengan kebenaran. Mempertemukannya dengan Rasulullah saw.
Allah juga memberinya umur panjang hingga ia bisa menyaksikan panji-panji Islam
berkibar di seluruh penjuru dunia. Saat Bumi dipenuhi oleh kaum muslimin yang
menggemakan kebenaran dan keadilan.
Menurut Anda, sejauh mana
kualitas keislaman seorang, jika semangat dan ketulusannya seperti ini?
Sungguh,
keislaman Salman adalah keislaman pilih tanding. Kezuhudan, kecerdasan, dan
ketakwaanya sangat mirip dengan Umar bin Khaththab ra.
Ia pernah
tinggal bersama Abu Darda selama beberapa hari. Abu Darda selalu berpuasa
disiang hari dan menghabiskan malam untuk shalat tahajud. Melihat kondisi Abu
Darda seperti ini, Slaman melarangnya agar tidak keterlaluan dalam beribadah.
Suatu malam
Salman ingin menggagalkan tedaak Abu Darda untuk berpuasa sunah. Maka Abu Darda
berkata, “Apakah engkau melarangku puasa dan shalat?”
Salman
menjawab, “sesungguhnya kedua matamu mempunyai hak yang harus kamu penuhi,
demikian pula istrimu. Jangan puasa tiap hari dan berikan kesempatan kepada
matamu untuk tidur.”
Peristiwa
itu sampai kepada Rasulullah. Beliau bersabda, “Sungguh, Salman telah
dikaruniai ilmu yang luas.”
Rasulullah
saw. Sendiri sering memuji kecerdasan dan luasnya ilmu Salman. Beliau juga
memuji akhlaknya yang luhur dan ketaatannya terhadap hukum agama.
Di waktu
Perang Khandaq, kaum Anshar sama-sama berdiri dan berkata, “Salman dari
golongan kami.”
Kaum
Muhajirin juga berdiri dan berkata, “Tidak. Dia dari golongan kami.”
Namun
Rasulullah menengahi dengan sabdanya, “Salman dalah golongan kami, ahlul abit.”
Dan sudah
selayaknya jika Salman mendapatkan kehormatan seperti ini.
Ali bin Abi
Thalib ra. Menyamakan Salman dengan “Lukmanul Hakim.” Setelah Salman wafat, Ali
berkomentar, “Dia bermula dari kami dan berakhir kepada kami, ahlul bait. Siapa
di antara kalian yang menyamai Lukmanul Hakim. Ia diberi ilmu pertama dan ilmu
terakhir. Ia membaca buku pertama dan buku terakhir. Ia adalah samudra yang
takkan kering.”
Di hati para sahabat, ia menempati posisi tertinggi. Pada
masa pemerintahan Umar ra. Ia datang berkunjung ke Madinah, maka Umar siapapun.
Umar ra. Mengumpulkan rekan-rekannya dan mengajak mereka, “Marilah kita sambut
kedatangan Salman.” Lalu mereka menuju pinggiran kota Madinah untuk
menyambutnya.
Sejak bertemu dengan Rasulullah dan beriman kepadanya,
Salman hidup sebagai seorang muslim yang merdeka, sebagai pejuang dan taat
beribadah.
Salman dikaruniai usia panjang. Ia menyaksikan pemerintahan
Abu Bakar dan Umar ra. Ia meninggal dunia, kembali kepada Tuhannya, pada masa
pemerintahan Utsman ra.
Di tahun-tahun terakhir kehidupan Salman itulah, panji-panji
Islam berkibar di seluruh penjuru dunia. Harta benda dan kekayaan mengalir ke
Madinah, baik yang berasal dari pajak maupun yang lainnya. Lalu kekayaan itu
dibagikan ke warga sebagai tunjangan hidup yang dibagikan setiap bulan.
Secara otomatis tanggung jawab Negara bertambah, dan
kebutuhan akan orang-orang yang mampu menjadi pemimpin daerah juga bertambah.
Dalam kondisi seperti ini, dimanakah Salman?
Dalam kondsisi Negara dipenuhi kekayaan, di manakah Salman?
Perhatikanlah ia dengan saksama.
Lihatlah laki-laki tua berwibawa yang sedang duduk di bawah
pohon. Lihatlah bagaimana ia asyik menganyam daun korma untuk dijadikan
keranjang.
Laki-laki itu adalah Salman ra. Yang sedang kita bicarakan.
Perhatikanlah lagi.
Lihatlah gamisnya yang pendek, hanya sampai laut. Padahal
saat itu ia orang yang dihormati dan disegani. Gaji yang diterimanya juga tidak
sedikit: antara 4.000-6.000 dinar setahun. Namun, semuanya ia bagikan. Tidak
sedikit pun ia ambil untuk kpentingan dirinya.
Dengarkan perkataannya, “Aku membeli daun kurma seharga satu
dirham. Daun itu kubuat keranjang. Kemudia kujual dengan harga tiga dirham.
Satu dirham kugunakan untuk modal usaha, satu dirham untuk nafkah keluargaku,
dan satu dirham lagi untuk sedekah. Meskipun Khalifah Umar ra. Melarangku
berbuat demikian, aku tidak mau mengehentikannya.”
Wahai para pengikut Muhammad saw.!
Wahai kalian yang mengagungkan kemanusiaan!
Ketika mendengar kehidupan generasi sahabat yang amat
bersahaja, seperti Abu Bakar, Umar, Abu Dzar dan lainnya, sebgaian kita
menyangka bahwa itu disebabkan karakter hidup di Jazirah Arab saat itu,
karakter hidup yang bershaja.
Tetapi sekarang kita berhadapan dengan seorang putra Persia.
Suatu negeri yang terkenal dengan kemewahan dan kesenangan hidup. Dan ia bukan
dari golongan miskin. Ia dari golongan kaya. Mengapa dia sekarang menolak
kekayaan dan kesenangan, bertahan dalam kehidupan bersahaja, merasa cukup
dengan satu dirham untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya? Satu dirham
itu pun diperoleh dari hasil jerih payahnya sendiri.
Mengapa dengan gigih ia menolak jabatan? Ia berkata,
“Seandainya kamu masih mampu makan tanah, asal tidak menjadi pemimpin, meskipun
bawahanmu hanya dua orang, maka lakukanlah.”
Mengapa dia menolak semua jabatan kecuali jabatan panglima perang,
atau kecuali ketika tidak ada seorang pun yang mampu memikul tanggung jawab itu
selain dirinya? Ia menerima jabatan itu karena terpaksa dan isak tangis
ketakutan.
Lalu mengapa setelah memegang jabatan itu, ia tidak mau
menerima tunjangan yang diberikan secara halal?
Hisyam bin Hisan menyebutkan bahwa Hasan pernah mengatakan
bahwa tunjangan Salman sebesar lima ribu dinar setahun. Namun demikian, ketika
dia berpidato di hadapan 30 ribu orang, separuh baju luarnya (aba’ah) ia
jadikan alas duduk, dan separuhnya lagi untuk menutupi badannya. Tunjangan
hidup ia terima, ia bagi-bagikan sampai habis, sedangkan untuk nafkah
keluarganya dia peroleh dari hasil usahanya sendiri.”
Mengapa ia melakukan semua ini? Mengapa ia amat zuhud kepada
dunia, padahal dia seorang putra Persia, tempat kesenangan dan kebudayaan?
Marilah kita dengar jawaban beliau.
Saat itu dia terbaring di atas tempat tidur, sesaat sebelum
ajal menjeputnya, sesaat sebelum jiwa mulianya bertemu dengan Tuhan yang Maha Tinggi
dan Maha Penyayang. Saat itu, Sa’ad bin Abi Waqqash datang menjenguknya.
Tiba-tiba Salman menangis.
“Apa yang kamu tangiskan, wahai Abu Abdillah (panggilan
Salman)? Padahal saat Rasulullah saw. Wafat, beliau ridha kepadamu?”
Salman menjawab, “Aku menangis bukan Karena takut mati atau
mengharap kemewahan dunia. Rasulullah telah menyampaikan suatu kepada kita,
“Hendaklah bagian kalian dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorng musafir.”
Padahal harta milikku seperti ini banyaknya.”
Sa’ad menceritakan, “Aku perhatikan, tidak ada yang tampak
di sekelilingku kecuali satu piring dan satu baskom. Lalu aku berkata
kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, berilah kami nasihat yang akan selalu kami
ingat.”
Dia berkata, “Wahai Sa’ad, ingatlah Allah ketika kamu ingin
sesuatu, ketika kamu memberikan keputusan, dan ketika membagi.”
Ternyata inilah yang telah mengisi hati Salman, sehingga ia
tidak mau mendekatii kekayaan dan jabatan. Yaitu pesan Rasulullah saw.
Kepadanya dan kepada semua sahabat, agar mereka tidak dikuasai oleh dunia dan
tidak mengambil dunia kecuali sekedar bekal seorang musafir.
Salman telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air
matanya masih jatuh berderai ketika ruhnya telah siap untuk berangkat. Khawatir
kalau-kalau dia telah melampaui batas yang ditetapkan. Di ruangannya hanya ada
satu piring makan dan satu baskom tempat minum dan wudhu. Walau demikian dia
menganggap dirinya telah berlaku boros.
Nah, bukanlah telah kami sampaikan kepada Anda bahwa dia
mirip sekali dengan Umar ra..?
Ketika ia diangkat sebagai walikota Madain pun karakternya
tidak berubah. Seperti yang kita tahu bahwa ia tidak mengambil sedikit pun dari
gaji jabatannya. Ia memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya dengan bekerja
menganyam daun kurma. Pakaiannya hanya baju luar sederhana, sederhana
pakaiannya sebelum diangkat sebagai walikota.
Suatu hari, ketika sedang berjalan di suatu jalan, dia
berjumpa dengan seorang laki-laki dari negeri Syam yang membawa sepikul buah
tin dan kurma. Rupanya beban itu amat berat, sehingga melelahkannya. Ketika
orang Syam itu melihat laki-laki yang berpenampilan biasa dan tampak dari
golorang orang tak punya, ia berpikir
hendak menyuruh laki-laki itu membawa buah-buahan dengan imbalan yang pantas
sesampainnya di tempat tujuan. Orang Syam itu memanggil Salman, dan Salman
mendekat. Orang itu berkata kepada Salman, “Tolong bawakan barang ku ini.” Maka
Salman mengangkat barang itu, dan mereka berdua berjalan bersama-sama.
Di tengah jalan mereka berpapasan
dengan satu rombongan. Salman mengucap salam kepada mereka. Mereka berhenti dan
menjawab salam itu, “Kesejahteraan juga untuk walikota.” Orang Syam itu
bertanya dalam hati, “Juga kepada walikota.” Siapa yang mereka maksud?”
Kebenarannya semakin bertambah ketika beberapa orang dari rombongan itu
bergegas mendekat dan berkata, “Biarkan kami yang membawanya.”
Barulah orang Syam itu sadar, bahwa
kuli panggulnya itu adalah Salman Al-Farsi, walikota Madain. Orang itu pun
menjadi gugup, kata-kata penyesalan dan permintaan maaf mengalir dari bibirnya.
Dia mendekat hendak mengambil beban itu, tetapi Salman menolak. Salman berkata,
“Tidak, biar kuantarkan sampai rumahmu.”
Salman pernah ditanya, “Apa sebabnya
Anda tidak menyukai jabatan?”
Dia menjawab, “Jabatan itu terasa
manis saat dipegang, dan pahit saat dilepas”
Suatu ketika, seorang rekannya
berkunjung ke rumahnya. Melihat Salman sedang memasak, dia bertanya, “Ke mana
pembantu Anda?”
Salman menjawab, “Aku suruh untuk
suatu keperluan. Aku tidak ingin dia melakukan dua pekerjaan sekaligus.”
Kita menyebut Salman berada di
rumahnya. Tahukah anda bagaimana rumah beliau?
Ketika Salman ingin membangun
rumahnya itu, ia bertanya kepada tukangnya, “Bagaimana model rumah yang hendak
Anda bangun?”
Kebetulan tukang bangunan ini seorang
yang arif bijaksana, mengetahui kesedarhanaan Salman dan sifatnya yang tidak
suka kemewahan. Dia berkata, “Tuan jangan khawatir. Rumah ini bisa digunakan
bernaung dari terik matahari dan berteduh dari guyuran hujan. Jika Tuan
berdiri, kepala Tuan akan sampai ke atap, dan jika Tuan berbaring, kaki Tuan
akan menyentuh dindingnya.”
Salman berkata, “Bagus. Rumah seperti
itu yang harus kau bangun.”
Salman ra. Sama sekali tidak tertarik
dengan dunia. Hanya ada satu barang yang membuatnya sangat tertarik. Ia meminta
istrinya untuk menyimpan barang itu baik-baik.
Saat ia sakit, sebelum meninggal
dunia, ia memanggil istrinya, “Ambilkan barang yang pernah kutitipkan
kepadamu.”
Ternyata barang itu adalah wewangian
kesturi yang ia perolah saat pembebasan kota Jalula. Sengaja ia simpan untuk
wewangian saat ia meninggal dunia.
Ia meminta segelas air. Kasturi itu
dimasukkan ke dalam air lalu diaduk. Ia berkata kepada istrinya, “Percikkanlah
ke sekelilingku. Aku akan didatangi makhluk Allah yang tidak makan, namun suka
dengan wewangian.”
Selesai memercikan kesturi. Ia
berkata kepada istrinya, “Tutuplah pintu dan keluarlah.” Sang istri menuruti
perintah Salman.
Beberapa saat kemudian, sang istri
masuk ke tempat Salman, dan dijumpainya Salman telah pulang ke pangkuan
Tuhannya. Salman ikut serta dengan malaikat yang menjemputnya, terbang dengan
sayap-sayap kerinduan, karena dia mempunya janji. Janji bertemu dengan
Rasul-nya; Muhammad saw, dengan dua rekannya; Abu Bakar ra. Dan Umar ra. Dan
para syuhada dan orang-orang shalih.
Lama sudah dahaga kerinduan menyertai Salman.
Kini, air pelepas dahaga itu telah datang. [Tamat/dn]
Sumber : Sumber :
60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom

0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !