Khalifahlife.com - Waktu terus berjalan. Hingga
tibalah peristiwa pembebasaan kota Mekah.
Dengan membawa 10 ribu kaum
muslimin, Rasulullah memasuki kota Mekah dengan membaca tahmid dan takbir.
Beliau menuju Ka’bah, tempat suci yang dijejali 360 berhala oleh suku Quraisy.
Yang benar telah datang. Yang batil
pasti menyingkir
Mulai hari ini tidak ada lagi Lata,
`Utta atau Hubal. Mulai hari ini, tidak seorang pun yang menundukkan kepalanya
kepada batu dan patung. Tidak ada lagi yang mereka puja dengan sepenuh hati
selain Allah. Tuhan yang Mahatinggi, Mahabesar, dan tiada satu pun yang
menyerupai-Nya.
Dengan ditemani Bilal, Rasulullah
masuk ke dalam Ka’bah. Di dekat pintu, berdiri sebuah patung berbentuk Ibrahim
as. Yang sedang berjudi dengan menggunakan anak panah. Rasulullah marah dan
berkata,
“Semoga Allah membinasakan mereka.
Nenek moyang kita tidak berjudi. Ibrahim bukan orang yahudi dan bukan orang
nasrani. Dia seorang muslim dan sama sekali tidak pernah melakukan
kemusyrikan.”
Rasulullah menyuruh Bilal naik ke
bagian atas masjid untuk mengumandangkan azan. Maka Bilal pun mengumandangkan
azan. Sungguh saat-saat mengharukan. Lihatlah tempatnya. Rasakan suasananya.
Detak kehidupan di kota Mekah seakan berhenti. Ribuan kaum muslimin berdiri
terpaku.
Dengan suara lirih, mereka mengulangi lafal-lafal azan yang
dikumandangkan Bilal. Sungguh suasana yang sangat mengharukan.
Sementara itu, orang-orang kafir
yang berada di rumah mereka masih belum bisa percaya:
“Inikah dia Muhammad dan
orang-orang miskin yang menjadi pengikutnya yang kemarin diusir dari kota ini?”
Betulkah dia adalah Muhammad itu?
Pengikutnya sudah berjumlah 10 ribu orang?”
Betulkah dia adalah Muhammad yang
kemarin kami usir, kami perangi, dan kami bunuh orang-orang terdekatnya?”
“Betulkah dia adalah Muhammad itu?
Baru saja dia berkata kepada kami, `Pergilah! Kalian bebas.’
Padahal dia mampu
membunuh kami semua.”
Pertanyaan-pertanyaan ini mengusik
kepala mereka.
Sementara tu, ada tiga orang
bangsawan Quraisy sedang duduk dekat Ka’bah. Mereka tampak terpukul menyaksikan
Bilal menginjak-injak berhala-berhala mereka, lalu mengumandangkan azan yang
menembus seluruh penjuru Mekah, bagai tiupan angin musim semi.
Ketiga orang itu ialah Abu Sufyan
bin Harb (sudah masuk Islam beberapa saat yang lalu), Attab bin Usaid dan
Harits bin Hisyam (Keduanya belum masuk Islam).
Dengan mata tertuju kepada Bilal
yang sedang mengumandangkan azan, Attab berkata, “Tuhan telah memuliakan Usaid
dengan tidak mendengarkan seruan ini agar tidak mendengarkan sesuatu yang
dibencinya.”
Harits berkata, “Demi tuhan, jika aku
tahu Muhammad itu benar, sungguh aku akan mengikutinya.”
Abu Sufyan mengomentari perkataan
mereka berdua, “Aku tidak berkata apa-apa karena jika aku mengatakan sesuatu,
pasti kerikil ini akan menyebarkan perkataanku.”
Ketika Nabi meninggalkan Ka’bah, beliau
melihat mereka. Beliau memperhatikan mereka sebentar.
Dengan tatapan penuh
cahaya ilahi dan kemenangan, beliau berkata, “Aku tahu apa yang kalian
ucapkan.” Dan beliau memberitahukan apa yang mereka ucapkan.
Tiba-tiba harits dan Attab berkata,
“Kami bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah. Demi tuhan, tidak seorang pun
mendengar ucapan kami hingga kami menuduhnya telah bercerita kepadamu.”
Sekarang, cara pandang mereka
terhadap Bilal sudah berubah. Di hati mereka bergema kalimat yang mereka dengar dalam khotbah Rasulullah sewaktu
memasuki Mekah. “Hai orang-orang Quraisy.
Allah telah melenyapkan kesombongan
jahiliah dan bangga pada nenek moyang. Semua manusia bermula dari Adam, dan
Adam diciptakan dari tanah.”
Bilal melanjutkan hidupnya bersama Rasulullah
saw. Ia ikut ambil bagian dalam setiap peristiwa penting. Ia menjadi muazzin.
Ia menghidupkan dan menjaga syiaar-syiar Islam; agama besar yang telah menyelamatkannya
dari kegelapan dan perbudakan.
Islam makin tinggi. Begitu juga
kaum muslimin. Dan semakin hari, Bilal semakin dekat dengan Rasulullah yang
menjulukinya sebagai “Laki-laki penghuni surga.”
Namun Bilal tetap Bilal. Ia tetap
berhati mulia dan rendah hati. Ia tetap melihat dirinya sebagai “Orang Habsyi
yang kemarin hanya seorang budak belian.”
Suatu hari ia pergi meminang dua
wanita untuk dirinya dan untuk saudara laki-lakinya. Ia berkata kepada ayah dua
wanita itu, “Aku Bilal dan ini saudarku. Kami dua budak Habsyi. Dulu kami
berada dalam kesesatan, lalu Allah memberikan hidayah kepada kami. Dulu kami
budak belian, lalu Allah memerdekakan kami. Jika bapak menerima pinangan kami,
maka segala puji bai Allah. Jika bapak tidak menerima, maka Allah adalah Tuhan
yang Maha Besar.”
Rasulullah wafat, menghadap sang
pencipta dalam keadaan ridha dan diridhai. Tanggung jawab memimpin kaum
muslimin setelah beliau dibebankan kepada Abu Bakar ash-shiddiq.
Suatu hari, Bilal menghadap
Khalifah Abu Bakar, “Wahai Khalifah. Rasulullah pernah bersabda, `Amal
perbuatan seorang mukmin yang paling utama adalah berperang di jalan Allah.’”
Khalifah berkata, “Lalu apa yang
Anda inginkan?”
“Aku ingin tetap bergabung dalam
pasukan perang hingga syahid.”
Khalifah berkata, “Lantas siapa
yang menjadi muazzin?”
Dengan menangis, Bilal berkata,
“Aku tidak akan menjadi muazzin setelah Rasulullah wafat.”
“Tidak, engkau harus tetap di sini
dan menjadi muazzin,” kata Abu Bakar.
Bilal menjawab, “Jika sewaktu
menebusku engkau ingin menjadikan aku budak, maka aku akan menuruti kemauanmu.
Namun jika penebusan itu karena Allah, maka biarkan aku bebas memilih.”
Khalifah menjawab, “Aku
menebusmu karena Allah.”
Sejumlah ahli sejarah menyebutkan
bahwa setelah itu Bilal pergi ke negeri Syam. Menetap di tempat itu dan tetap
bergabung dalam pasukan Islam.
Sejumlah ahli sejarah lain
menyebutkan bahwa Bilal menerima tawaran Khalifah Abu Bakar, menetap di
Madinah. Setelah Khalifah Abu Bakar wafat, dan Umar diangkat menjadi
penggantinya.
Bilal meminta izin untuk pergi ke Syam.
Apa pun adanya, Bilal telah
menazarkan sisa hidupnya untuk berperang di jalan Allah. Tekadnya telah bulat
untuk mengakhiri hidupnya, berjumpa Allah dan Rasul-Nya saat ia melakukan amal
perbuatan yang paling disukai Allah dan Rasul-Nya.
Ia tidak mau lagi mengumandangkan
azan, karena setiap kali ia mengumandangkan “Asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah,” maka kenangan lamanya bangkit kembali, dan suaranya tertelan oleh
kesedihan. Lalu, ia tidak bisa menahan tangis.
Ia mengumandangkan azan untuk yang
terakhir kali adalah saat Khalifah Umar ra. Mengunjungi Syam. Ketika waktu
shalat tiba, kaum muslimin memohon kepada Khalifah agar menyuruh Bilal
mengumandangkan azan walaupun hanya sekali.
Bilal naik ke menara dan
mengumandangkan azan. Para sahabat yang pernah hidup bersama Rasulullah
menangis tersedu-sedu, seakan belum pernah menangis. Terutama Khalifah Umar ra.
Bilal ra. Wafat di Syam, di medan
jihad, seperti yang ia inginkan. Di tanah Damaskus, jasad laki-laki agung ini
dikuburkan. Laki-laki yang sangat gigih memblea akidah dan keimanan. [Tamat/dn]
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid
Muhammad Khalid/Al Itishom
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !