Khalifahlife.com - Setelah Rasulullah saw. Bersama
kaum muslimin hijrah dan menetap di Madinah, beliau pun mensyariatkan azan
untuk melakukan shalat. Siapakah kiranya yang menjadi muazzin untuk shalat
sebanyak lima kali dalam sehari semalam? Siapakah yang suara takbir dan
tahlilnya akan berkumandang ke seluruh penjuru kota Madinah?
Dialah Bilal yang telah menyerukan,
“Ahad... Ahad...” ketika diterpa siksaan 13 tahun yang lalu.
Hari itu Rasulullah memilihnya
sebagai muazzin pertama dalam sejarah Islam. Dengan suaranya yang tinggi dan
merdu, lantunan demi lantunan azan menyirami hati kaum muslimin, menjadikannya
berbunga-bunga.
Dengarkan lantunan Bilal,
Allahu Akbar...Allahu Akbar...
Allahu Akbar...Allahu Akbar...
Asyhadu alla ilaha illallah...
Asyhadu alla ilaha illallah...
Asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah...
Asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah...
Hayya `alas shalah...
Hayya `alas shalah...
Hayya `alal falah...
Hayya `alal falah...
Allahu Akbar...Allahu Akbar...
La ilaha illallah...
Saat terjadi perang yang amat
sengit antara kaum muslimin dengan pasukan kafir yang menyerang kota Madinah,
lihatlah; Bilal berada di sana. Ia berkelebat ke sana kemari menebaskan
pedangnya. Inilah perang pertama yang diterjuni kaum muslimin, Perang Badar.
Rasulullah memerintahkan pasukannya agar menjadi kata, “Ahad... Ahad...,”
sebagai slogan perang itu.
Kaum kafir Quraisy mengerahkan
kekuatan intinya dalam peperangan ini. Tidak ketinggalan para pemukanya.
Pada mulanya Umayah bin Khalaf,
mantan majikan Bilal yang telah menyiksanya secara kejam dan biadab, berniat
tidak ikut perang. Namun ia datangi `Uqbah bin Abi Mu’ith dengan membawa mijmar
(dupa yang dipergunakan wanita untuk membakar kayu wangi). Dupa itu diletakkan
di depan Umayah dan berkata, “Hai Umayah, gunakanlah dupa ini. Kamu ternyata
seorang wanita.”
“Keparat kau! Apa yang kau bawa
ini?” teriak Umayah dengan geram. Ia bergegas berangkat bersama pasukan yang
lain.
Sungguh, apa rahasia di balik semua
ini?
Uqbah bin Abi Mu’ith adalah orang
yang paling gigih mendorong Umayah untuk melakukan siksaan terhadap Bilal dan
orang-orang tak berdaya lainnya dari kaum muslimin.. Dan sekarang, ia
mendesaknya untuk ikut dalam Perang Badar. Perang yang menjadi kuburannya dan
kuburan Uqbah bin Abi Mu’ith.
Pada awalnya Umayah enggan ikut
perang. Tanpa desakan dari Uqbah, belum tentu ia ikut perang. Tetapi keputusan
Allah pasti akan terjadi. Umayah harus ikut dalam perang ini. Ia masih punya
utang kepada seorang hamba Allah yang belum terselesaikan. Dan sekaranglah
saatnya membayar utang itu. Jika Anda berutang, anda harus membayar utang itu.
Dan takdir Allah menghinakan
orang-orang yang sewenang-wenang. Uqbah adalah orang yang mendorong Umayah
menyiksa orang-orang Islam. Dia juga yang menyeret Umayah menemui kematiannya.
Di tangan siapakah dia menemui
kematiannya?
Di tangan Bilal. Bilal membunuhnya
sendirian. Bilal membunuhnya dengan tangannya sendiri. Tangan yang dulu dirantai
oleh Umayah, dan tubuhnya yang disiksa habis-habisan.
Hari ini, di Perang Badar, tangan
inilah yang mengantarkan algojo Quraisy pada kematiannya. Ketentuan Allah-lah
yang mengatur semua ini.
Perang mulai berkecamuk. Pasukan
kaum muslimin bergerak maju dengan semboyannya, “Ahad... Ahad...” Jantung
Umayah bagai tercabut dari urat akarnya dan rasa takut mengancam dirinya.
Kalimat yang kemarin diulang-ulang
oleh budak beliannya saat menghadapi siksa, sekarang menjadi semboyan satu
agama dan umat baru. “Ahad... Ahad...” Begitu cepat perubahan itu terjadi.
Perang makin memanas. Suara
benturan pedang memekakkan telinga.
Ketika perang hampir usai, Umayah
melihat Abdurrahman bin Auf, seorang sahabat Rasulullah. Ia segera meminta
perlindungan kepadanya. Umayah meminta Abdurrahman bin Auf mau menjadikannya
sebagai tawanan. Dengan harapan, ia bisa selamat dari pedang pasukan Islam.
Abdurrahman memenuhi permintaan
Umayah dan berjanji akan melindunginya. Lalu membawanya ke tempat para tawanan
perang. Di tengah jalan, Bilal melihat keberadaan Umayah. Ia berteriak, “Itu
dia gembong kekafiran. Umayah bin Khalaf. Aku tidak akan aman jika dia
selamat.”
Sambil berkata demikian, Bilal
mengangkat pedangnya dan hendak memenggal kepala Umayah yang selama ini penuh
dengan kesombongan. Namun, Abdurrahman berteriak, “Bilal!, Jangan! Dia tawananku.”
“Tawanan? Perang ini belum selesai.
Lihatlah pedangnya, masih berlumuran darah kaum muslimin.” Bilal menjawab
dengan nada keheranan dan mengolok-olok. Sebelum ini, Umayah telah
mengolok-oloknya sepuas-puasnya.
Bilal merasa tidak mampu menggagalkan
perlindungan saudara seagama (Abdurrahman bin Auf) kecuali bantuan yang lain.
Ia berteriak keras, “Wahai para pembela agama Allah, ini dia gembong kekafiran
Umayah bin Khalaf. Aku tidak akan aman jika dia selamat.”
Kaum muslimin dengan pedang masih
berlumuran darah segera berdatangan dan Abdurrahman bin Auf tidak bisa berbuat
apa-apa. Bahkan, ia tidak sempat menyelamatkan bajunya yang terkoyak karena
desakan orang-orang itu.
Bilal memandangi tubuh Umayah yang
telah roboh oleh tebasan pedang. Kemudian ia meninggalkannya dengan meneriakkan
“Ahad... Ahad...”
Bahkan akan lebih utama jika Bilal
memaafkan Umayah?
Menurut saya, pertanyaan ini tidak
tepat jika diajukan dalam kondisi seperti ini. Seandainya pertemuan antara
Bilala dengan Umayah dalam suasana yang lain, mungkin pertanyaan ini bisa kita
ajukan. Dan laki-laki seperti Bilal pasti akan memberikan maaf.
Lihatlah, mereka bertemu dalam
sebuah pertempuran. Masing-masing ingin menghabisi lawannya. Pedang saling
beradu. Korban berjatuhan. Kematian menjadi semakin dekat. Di saat seperti itu,
Bilal melihat Umayah yang selama ini menyiksanya habis-habisan. Bahkan setiap
bagian tubuhnya masih merasakan kesedihan siksanya.
Di perang itu, Bilal menyaksikan
Umayah berkelebat ke sana kemari, menebaskan pedangnya ke leher kaum muslimin.
Seandainya ia punya kesempatan untuk memenggal leher Bilal, tentu ia akan
melakukannya.
Dalam suasan seperti inilah, mereka bertemu. Tidak masuk akal kalu
kita mengajukan pertanyaan, “Mengapa Bilal tidak memaafkannya?” [bersambung/dn]
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid
Muhammad Khalid/Al Itishom
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !